Makna roja’ dan khouf secara bahasa
Roja’ berarti mengharapkan. Apabila dikatakan rojaahu maka artinya ammalahu: dia mengharapkannya (lihat Al Mu’jam Al Wasith, 1/333) Syaikh Utsaimin berkata: “Roja’ adalah keinginan seorang insan untuk mendapatkan sesuatu baik dalam jangka dekat maupun jangka panjang yang diposisikan seperti sesuatu yang bisa digapai dalam jangka pendek.” (lihat Syarh Tsalatsatu Ushul, hal. 57-58) Syaikh Abdullah bin Shalih Al Fauzan berkata: “Asal makna roja’ adalah menginginkan atau menantikan sesuatu yang disenangi…” (Hushuulul Ma’muul, hal. 79). Khouf artinya perasaan takut yang muncul terhadap sesuatu yang mencelakakan, berbahaya atau mengganggu (lihat Syarh Tsalatsatu Ushul, hal. 56)
Makna roja’ dan khouf secara istilah
Syaikh Zaid bin Hadi Al Madkhali berkata: “Roja’ adalah akhlak kaum beriman. Dan yang dimaksud dengannya adalah menginginkan kebaikan yang ada di sisi Allah ‘azza wa jalla berupa keutamaan, ihsan dan kebaikan dunia akhirat. Dan roja’ haruslah diiringi dengan usaha menempuh sebab-sebab untuk mencapai tujuan…” (Thariqul Wushul, hal. 136) Adapun roghbah ialah rasa suka mendapatkan sesuatu yang dicintai (Syarh Tsalatsatu Ushul, hal. 59). Maka apabila seseorang berdoa dan menyimpan harapan yang sangat kuat tercapainya keinginannya maka inilah yang disebut dengan roghbah (Hushuulul Ma’muul, hal. 87)
Sedangkan makna khouf secara istilah adalah rasa takut dengan berbagai macam jenisnya, yaitu: khouf thabi’i, dan lain sebagainya (akan ada penjelasannya nanti insya Allah) Adapun khosyah serupa maknanya dengan khouf walaupun sebenarnya ia memiliki makna yang lebih khusus daripada khouf karena khosyah diiringi oleh ma’rifatullah ta’ala. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya yang merasa takut kepada Allah hanyalah orang-orang yang berilmu.” (QS. Faathir: 28) Oleh sebab itu khosyah adalah rasa takut yang diiringi ma’rifatullah. Karena itulah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Adapun aku, demi Allah… sesungguhnya aku adalah orang yang paling khosyah kepada Allah di antara kalian dan paling bertakwa kepada-Nya.” (HR. Bukhari, 5063, Muslim, 1108) Madaarijus Salikin,1/512, dinukil dari Hushuulul Ma’muul, hal. 79). Ar Raaghib berkata: Khosyah adalah khouf yang tercampuri dengan pengagungan. Mayoritas hal itu muncul didasarkan pada pengetahuan terhadap sesuatu yang ditakuti… (Al Mufradaat hal 149, dinukil dari Hushuulul Ma’muul, hal. 89) Adapun rohbah adalah khouf yang diikuti dengan tindakan meninggalkan sesuatu yang ditakuti, dengan begitu ia adalah khouf yang diiringi amalan… (Hushuulul Ma’muul, hal. 87)
Peranan roja’ dan khouf
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan: “Ketahuilah sesungguhnya penggerak hati menuju Allah ‘azza wa jalla ada tiga: Al-Mahabbah (cinta), Al-Khauf (takut) dan Ar-Rajaa’ (harap). Yang terkuat di antara ketiganya adalah mahabbah. Sebab rasa cinta itulah yang menjadi tujuan sebenarnya. Hal itu dikarenakan kecintaan adalah sesuatu yang diharapkan terus ada ketika di dunia maupun di akhirat. Berbeda dengan takut. Rasa takut itu nanti akan lenyap di akhirat (bagi orang yang masuk surga, pent). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Ketahuilah, sesungguhnya para wali Allah itu tidak ada rasa takut dan sedih yang akan menyertai mereka.” (QS. Yunus: 62) Sedangkan rasa takut yang diharapkan adalah yang bisa menahan dan mencegah supaya (hamba) tidak melenceng dari jalan kebenaran. Adapun rasa cinta, maka itulah faktor yang akan menjaga diri seorang hamba untuk tetap berjalan menuju sosok yang dicintai-Nya. Langkahnya untuk terus maju meniti jalan itu tergantung pada kuat-lemahnya rasa cinta. Adanya rasa takut akan membantunya untuk tidak keluar dari jalan menuju sosok yang dicintainya, dan rasa harap akan menjadi pemacu perjalanannya. Ini semua merupakan kaidah yang sangat agung. Setiap hamba wajib memperahtikan hal itu…” (Majmu’ Fatawa,1/95-96, dinukil dari Hushulul Ma’muul, hal. 82-83). Syaikh Zaid bin Hadi berkata: “Khouf dan roja’ saling beriringan. Satu sama lain mesti berjalan beriringan sehingga seorang hamba berada dalam keadaan takut kepada Allah ‘azza wa jalla dan khawatir tertimpa siksa-Nya serta mengharapkan curahan rahmat-Nya…” (Taisirul Wushul, hal. 136. lihat juga Syarh Tsalatsatu Ushul, hal. 60)
Apabila rasa takut hilang
Syaikhul Islam berkata: “Apabila seorang insan tidak merasa takut kepada Allah maka dia akan memperturutkan hawa nafsunya. Terlebih lagi apabila dia sedang menginginkan sesuatu yang gagal diraihnya. Karena nafsunya menuntutnya memperoleh sesuatu yang bisa menyenangkan diri serta menyingkirkan gundah gulana dan kesedihannya. Dan ternyata hawa nafsunya tidak bisa merasa senang dan puas dengan cara berdzikir dan beribadah kepada Allah maka dia pun memilih mencari kesenangan dengan hal-hal yang diharamkan yaitu berbuat keji, meminum khamr dan berkata dusta…” (Majmu’ Fatawa, 1/54,55) dinukil dari Hushuulul Ma’muul, hal.77)
Roja’ dan khouf yang terpuji
Syaikh Al ‘Utsaimin berkata: “Ketahuilah, roja’ yang terpuji hanya ada pada diri orang yang beramal taat kepada Allah dan berharap pahala-Nya atau bertaubat dari kemaksiatannya dan berharap taubatnya diterima, adapun roja’ tanpa disertai amalan adalah roja’ yang palsu, angan-angan belaka dan tercela.” (Syarh Tsalatsatu Ushul, hal. 58) Syaikhul Islam berkata: “Khouf yang terpuji adalah yang dapat menghalangi dirimu dari hal-hal yang diharamkan Allah. “Sebagian ulama salaf mengatakan: “Tidaklah seseorang terhitung dalam jajaran orang yang takut (kepada Allah) sementara dirinya tidak dapat meninggalkan kemaksiatan-kemaksiatan.” (Al Mufradaat fii Ghariibul Qur’an hal. 162 dinukil dari Hushuulul Ma’muul, hal. 79)
Roja’ dan khouf adalah ibadah
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Orang-orang yang diseru oleh mereka itu justru mencari jalan perantara menuju Rabb mereka siapakah di antara mereka yang bisa menjadi orang paling dekat kepada-Nya, mereka mengharapkan rahmat-Nya dan merasa takut dari siksa-Nya.” (QS. al-Israa’: 57) Allah menceritakan kepada kita melalui ayat yang mulia ini bahwa sesembahan yang dipuja selain Allah oleh kaum musyrikin yaitu para malaikat dan orang-orang shalih mereka sendiri mencari kedekatan diri kepada Allah dengan melakukan ketaatan dan ibadah, mereka melaksanakan perintah-perintah-Nya dengan diiringi harapan terhadap rahmat-Nya dan mereka menjauhi larangan-larangan-Nya dengan diiringi rasa takut tertimpa azab-Nya karena setiap orang yang beriman tentu akan merasa khawatir dan takut tertimpa hukuman-Nya (lihat Al Jadiid, hal. 71) Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Maka janganlah kalian takut kepada mereka (wali setan), dan takutlah kepada-Ku, jika kalian beriman.” (QS. Ali ‘Imran: 175) Di dalam ayat ini Allah menerangkan bahwa orang-orang yang beriman tidak boleh merasa takut kepada para wali syaithan dan juga tidak boleh takut kepada manusia sebagaimana Allah ta’ala nyatakan, “Janganlah kamu takut kepada manusia dan takutlah kepada-Ku.” (QS. al-Maa’idah: 44) Rasa takut kepada Allah diperintahkan sedangkan takut kepada wali syaithan adalah sesuatu yang terlarang (Majmu’ Fatawa, 1/57 dinukil dari Hushuulul Ma’muul, hal. 78)
Roja’ yang disertai dengan ketundukan dan perendahan diri
Syaikh Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Roja’ yang disertai dengan perendahan diri dan ketundukan tidak boleh ditujukan kecuali kepada Allah ‘azza wa jalla. Memalingkan roja’ semacam ini kepada selain Allah adalah kesyirikan, bisa jadi syirik ashghar dan bisa jadi syirik akbar tergantung pada isi hati orang yang berharap itu…” (Syarh Tsalatsatu Ushul, hal. 58)
Mengendalikan khouf dan roja’
Syaikh Al ‘Utsaimin pernah ditanya: “Bagaimanakah madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam urusan roja’ dan khouf ?” Beliau menjawab: “Para ulama berlainan pendapat apakah seseorang harus mendahulukan roja’ ataukah khouf ke dalam beberapa pendapat: Imam Ahmad rahimahullah berpendapat: “Seyogyanya rasa takut dan harapnya seimbang, tidak boleh dia mendominasikan takut dan tidak boleh pula mendominasikan roja’.” Beliau rahimahullah berkata: “Karena apabila ada salah satunya yang lebih mendominasi maka akan binsalah orangnya.” Karena orang yang keterlaluan dalam berharap akan terjatuh dalam sikap merasa aman dari makar Allah. Dan apabila dia keterlaluan dalam hal takut maka akan terjatuh dalam sikap putus asa terhadap rahmat Allah. Sebagian ulama berpendapat: “Seyogyanya harapan lebih didominasikan tatkala berbuat ketaatan dan didominasikan takut ketika muncul keinginan berbuat maksiat.” Karena apabila dia berbuat taat maka itu berarti dia telah melakukan penyebab tumbuhnya prasangka baik (kepada Allah) maka hendaknya dia mendominasikan harap yaitu agar amalnya diterima. Dan apabila dia bertekad untuk bermaksiat maka hendaknya ia mendominasikan rasa takut agar tidak terjerumus dalam perbuatan maksiat.
Sebagian yang lain mengatakan: “Hendaknya orang yang sehat memperbesar rasa takutnya sedangkan orang yang sedang sakit memperbesar rasa harap.” Sebabnya adalah orang yang masih sehat apabila memperbesar rasa takutnya maka dia akan jauh dari perbuatan maksiat. Dan orang yang sedang sakit apabila memperbesar sisi harapnya maka dia akan berjumpa dengan Allah dalm kondisi berbaik sangka kepada-Nya. Adapun pendapat saya sendiri dalam masalah ini adalah: hal ini berbeda-beda tergantung kondisi yang ada. Apabila seseorang dikhawatirkan dengan lebih condong kepada takut membuatnya berputus asa dari rahmat Allah maka hendaknya ia segera memulihkan harapannya dan menyeimbangkannya dengan rasa harap. Dan apabila dikhawatirkan dengan lebih condong kepada harap maka dia merasa aman dari makar Allah maka hendaknya dia memulihkan diri dan menyeimbangkan diri dengan memperbesar sisi rasa takutnya. Pada hakikatnya manusia itu adalah dokter bagi dirinya sendiri apabila hatinya masih hidup. Adapun orang yang hatinya sudah mati dan tidak bisa diobati lagi serta tidak mau memperhatikan kondisi hatinya sendiri maka yang satu ini bagaimanapun cara yang ditempuh tetap tidak akan sembuh.” (Fatawa Arkanil Islam, hal. 58-59)
Macam-macam khouf
Syaikh Al ‘Utsaimin menjelaskan, Takut itu ada tiga macam:
1. Khouf thabi’i seperti halnya orang takut hewan buas, takut api, takut tenggelam, maka rasa takut semacam ini tidak membuat orangnya dicela…. akan tetapi apabila rasa takut ini …. menjadi sebab dia meninggalkan kewajiban atau melakukan yang diharamkan maka hal itu haram.
2. Khouf ibadah yaitu seseorang merasa takut kepada sesuatu sehingga membuatnya tunduk beribadah kepadanya maka yang seperti ini tidak boleh ada kecuali ditujukan kepada Allah ta’ala. Adapun menujukannya kepada selain Allah adalah syirik akbar.
3. Khouf sirr seperti halnya orang takut kepada penghuni kubur atau wali yang berada di kejauhan serta tidak bisa mendatangkan pengaruh baginya akan tetapi dia merasa takut kepadanya maka para ulama pun menyebutnya sebagai bagian dari syirik. (lihat Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 57)
Waspadai pemahaman Murji’ah
Kebanyakan manusia terjatuh di dalamnya kecuali orang-orang yang dirahmati Allah. Yaitu apabila seorang insan tidak lagi menyadari bahwa kemaksiatan itu membahayakan agama, kehidupan dunia dan akhiratnya. Padahal sesungguhnya maksiat adalah penyebab turunnya murka Allah padanya dan dia akan menghadapi berbagai macam bencana karenanya, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah subhanahu wa ta’ala yang artinya, “Dan bencana apapun yang menimpamu maka sesungguhnya itu terjadi karena ulah tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak kesalahan.” (QS. asy-Syuura: 30). Meskipun demikian, ternyata banyak manusia dikalahkan oleh hawa nafsunya sehingga diapun melakukan berbagai kemaksiatan dan keburukan, terkadang disertai dengan menggantungkan harapannya terhadap pemaafan dan ampunan dari Allah, dan terkadang dengan cara menunda-nunda taubat, terkadang dengan cara beristighfar lisannya akan tetapi senantiasa mengulangi kemaksiatannya, atau terkadang dengan cara menyibukkan diri dengan perkara-perkara yang disunnahkan (sementara yang wajib diabaikan -pent) atau dengan cara beralasan dengan takdir, dan kebanyakan orang mengira seandainya dia berbuat dosa apapun lantas dia mengucapkan Astahghfirullah maka dengan begitu dosanya akan sirna tanpa menyisakan bekas sesudahnya.
Iman terdiri dari keyakinan, ucapan dan perbuatan
Faktor penyebab mereka terjatuh dalam kesalahan seperti itu adalah karena mereka meyakini bahwa iman itu maknanya sekedar tashdiq/pembenaran saja, dan tidak ada kemaksiatan yang dapat membahayakan keberadaan tashdiq selama iman ada di hati mereka. Sedangkan hakikat keimanan menurut para pengikut kebenaran tegak di atas tiga pilar: Keyakinan dengan hati, Ucapan dengan lisan, Perbuatan dengan anggota badan. Dan amal perbuatan itu termasuk dalam substansi keimanan, iman bisa bertambah dan bisa berkurang, bertambah dengan sebab ketaatan dan berkurang dengan sebab kemaksiatan.
Harapan yang dusta
Para pelaku maksiat itu berdalil dengan beberapa ayat al-Qur’an dan hadits Nabi (untuk menutupi kesalahan mereka -pent) seperti dalam firman Allah ta’ala yang artinya, “Sesungguhnya Allah mengampuni seluruh dosa” (QS. az-Zumar: 53). Ibnul Qayyim mengatakan, “Pernyataan ini termasuk kebodohan yang paling buruk, sebab syirikpun termasuk dalam cakupan ayat ini padahal dia adalah biangnya dosa dan pokoknya. Dan tidak ada perselisihan di kalangan para ulama bahwasanya ayat ini berlaku bagi orang-orang yang bertaubat. Karena Allah mengampuni dosa setiap orang yang bertaubat dari dosa apapun yang telah dilakukannya. Kalaulah seandainya ayat ini berlaku bagi orang-orang yang tidak bertaubat niscaya nash-nash (dalil) yang berisi ancaman seluruhnya tidak ada gunanya … di dalam surat an-Nisaa’ Allah mengkhususkan dan memberikan catatan dengan firman-Nya yang artinya, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia akan mengampuni dosa di bawah tingkatan itu bagi orang yang dikehendaki-Nya.” (QS. An Nisaa’: 48) di sini Allah ta’ala memberitakan bahwa Dia tidak mengampuni dosa syirik, dan memberitakan kalau dosa yang berada di bawahnya diampuni. Kalau seandainya ayat ini berbicara tentang orang yang bertaubat niscaya tidak perlu dibedakan antara syirik dan selainnya.”
Neraka untuk orang kafir
Di antara mereka (orang-orang murji’ah -pent) ada yang berdalih: ‘Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla memberitakan kalau neraka itu “Disiapkan untuk orang-orang kafir” (QS. al-Baqarah: 24) dan aku bukan termasuk golongan mereka, aku hanya termasuk orang yang bermaksiat saja karena itulah maka neraka bukan disiapkan untuk orang-orang semacam aku’. Pemahaman anak-anak tentu lebih baik daripada pemahaman mereka itu; sebab disiapkannya neraka untuk orang-orang kafir tidak berarti meniadakan masuknya orang-orang fasiq dan zhalim, sebagaimana tatkala Allah berfirman tentang Surga yang artinya, “Disiapkan bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imran: 133) Dan maksud ayat ini bukan berarti orang yang di dalam hatinya hanya memiliki keimanan sebesar biji sawi tidak memasukinya, padahal nash-nash yang shahih mengabarkan tentang hal itu. Kalaulah mereka mau menggabungkan nash-nash ini niscaya mereka akan terbebas dari belenggu kebodohan ini. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Barang siapa yang durhaka terhadap Allah dan rasul-Nya dan melanggar batas-batas-Nya niscaya dia akan dimasukkan ke dalam neraka kekal di dalamnya dan dia berhak menerima siksa yang menghinakan.” (QS. an-Nisaa’: 14). Lalu apakah yang akan mereka katakan terhadap ayat ini?! Hanya saja kita bukanlah termasuk orang yang membenturkan ayat al-Qur’an satu dengan yang lainnya sehingga kita tidak mengatakan bahwa setiap orang yang bermaksiat itu kekal di dalam neraka; karena kekal di dalam neraka itu hanya diperuntukkan bagi orang-orang kafir dan musyrik. Dan juga karena sesungguhnya ahli tauhid apabila diputuskan Allah menerima siksa di neraka akibat kemaksiatan mereka maka mereka pada akhirnya akan dikeluarkan darinya dan tidak akan tersisa lagi di dalam neraka satu orangpun ahli tauhid.
Sumber: http://muslim.or.id