Qana’ah menurut bahasa adalah merasa cukup atau rela,
sedangkan menurut istilah ialah sikap rela menerima dan merasa cukup
atas hasil yang diusahakannya serta menjauhkan diri dari dari rasa tidak puas
dan perasaan kurang.
Rasulullah mengajarkan kita untuk ridha dengan apa yang
telah ditetapkan oleh Allah SWT, baik itu berupa nikmat kesehatan, keamanan,
maupun kebutuhan harian. Qona’ah adalah gudang yang tidak akan habis. Sebab,
Qona’ah adalah kekayaan jiwa. Dan kekayaan jiwa lebih tinggi dan lebih mulia
dari kekayaan harta. Kekayaan jiwa melahirkan sikap menjaga kehormatan diri dan
menjaga kemuliaan diri, sedangkan kekayaan harta dan tamak pada harta
melahirkan kehinaan diri.
Di antara sebab yang membuat hidup tidak tentram adalah
terperdayanya diri oleh kecintaan kepada harta dan dunia. Orang yang diperdaya
harta akan senantiasa merasa tidak cukup dengan apa yang dimilikinya.
Akibatnya,dalam apa yang dirinya lahir sikap-sikap yang mencerminkan bahwa ia
sangat jauh dari rasa syukur kepada Allah, Sang Maha Pemberi Rezeki itu
sendiri. Ia justru merasa kenikmatan yang dia peroleh adalah murni semata
hasil keringatnya, tak ada kesertaan Allah. Orang-orang yang terlalu mencintai
kenikmatan dunia akan selalu terdorong untuk memburu segala keinginannya meski
harus menggunakan segala cara seperti kelicikan, bohong, mengurangi
timbangan dan sebaginya. Ia juga tidak pernah menyadari, sesungguhnya harta
hanyalah ujian sebagaimana firman Allah ;
Artinya ;"Maka apabila manusia ditimpa bahaya ia
menyeru Kami, kemudian apabila Kami berikan kepadanya ni'mat dari Kami ia
berkata:"Sesungguhnya aku diberi ni'mat itu hanyalah karena
kepintaranku". Sebenarnya itu adalah ujian, tetapi kebanyakan mereka itu
tidak mengetahui" (Q.S Azumar; 49)
Kiat-kiat menuju sikap Qona’ah
Qana’ah (rela dan menerima pemberian Allah subhanahu
wata’ala apa adanya) adalah sesuatu yang sangat berat untuk dilakukan,
kecuali bagi siapa yang diberikan taufik dan petunjuk serta dijaga oleh Allah
dari keburukan jiwa, kebakhilan dan ketamakannya. Karena manusia diciptakan
dalam keadan memiliki rasa cinta terhadap kepemilikan harta.
Namun meskipun demikian kita dituntut untuk memerangi hawa
nafsu supaya bisa menekan sifat tamak dan membimbingnya menuju sikap zuhud dan
qana’ah. Berikut ini beberapa kiat menuju qana’ah yang jika kita laksanakan
maka dengan izin Allah seseorang akan dapat merealisasikan nya. Di antaranya
yaitu:
1. Memperkuat Keimanan kepada Allah subhanahu wata’ala.
Juga membiasakan hati untuk menerima apa adanya dan merasa
cukup terhadap pemberian Allah subhanahu wata’ala, karena hakikat kaya itu
ada di dalam hati. Barangsiapa yang kaya hati maka dia mendapatkan nikmat
kebahagiaan dan kerelaan meskipun dia tidak mendapatkan makan di hari itu.
Sebaliknya siapa yang hatinya fakir maka meskipun dia
memilki dunia seisinya kecuali hanya satu dirham saja, maka dia memandang bahwa
kekayaannya masih kurang sedirham, dan dia masih terus merasa miskin sebelum
mendapatkan dirham itu.
2. Yaqin bahwa Rizki Telah Tertulis.
Seorang muslim yakin bahwa rizkinya sudah tertulis sejak
dirinya berada di dalam kandungan ibunya. Sebagaimana di dalam hadits dari Ibnu
Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, disebutkan sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam di antaranya, “Kemudian Allah mengutus kepadanya
(janin) seorang malaikat lalu diperintahkan menulis empat kalimat (ketetapan),
maka ditulislah rizkinya, ajalnya, amalnya, celaka dan bahagianya.” (HR.
al-Bukhari, Muslim dan Ahmad)
Seorang hamba hanya diperintah kan untuk berusaha dan
bekerja dengan keyakinan bahwa Allah subhanahu wata’ala yang memberinya
rizki dan bahwa rizkinya telah tertulis.
3. Memikirkan Ayat-ayat al-Qur’an yang Agung.
Terutama sekali ayat-ayat yang berkenaan dengan masalah
rizki dan bekerja (usaha). ‘Amir bin Abdi Qais pernah berkata, “Empat ayat di
dalam Kitabullah apabila aku membacanya di sore hari maka aku tidak peduli atas
apa yang terjadi padaku di sore itu, dan apabila aku membacanya di pagi hari
maka aku tidak peduli dengan apa aku akan berpagi-pagi, (yaitu):
“Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa
rahmat,maka tidak ada seorang pun yang dapat menahannya; dan apa saja yang
ditahan oleh Allah maka tidak ada seorangpun yang sanggup untuk melepaskannya
sesudah itu. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS.
Fathiir:2)
“Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada
yang dapat menolak kurnia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang
dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya.” (QS.Yunus:107)
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan
Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu
dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh
Mahfuzh).” (QS. Huud:6)
“Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS.
ath-Thalaq:7)
4. Ketahui Hikmah Perbedaan Rizki
Di antara hikmah Allah subhanahu wata’ala menentu
kan perbedaan rizki dan tingkatan seorang hamba dengan yang lainnya adalah
supaya terjadi dinamika kehidupan manusia di muka bumi, saling tukar manfaat,
tumbuh aktivitas perekonomian, serta agar antara satu dengan yang lainnya
saling memberi kan pelayanan dan jasa.
Allah subhanahu wata’ala berfirman:
“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Rabbmu? Kami telah
menentu kan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami
telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat,
agar sebahagian mereka dapat mempergunakan sebahagian yang lain. Dan rahmat
Rabbmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (QS. az-Zukhruf:32)
“Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi
dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa derajat,
untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu.” (QS.Al an’am
165)
5. Banyak Memohon Qana’ah kepada Allah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah
manusia yang paling qana’ah, ridha dengan apa yang ada dan paling banyak
zuhudnya. Beliau juga seorang yang paling kuat iman dan keyakinannya, namun
demikian beliau masih meminta kepada Allah subhanahu wata’ala agar
diberikan qana’ah, beliau bedoa,
“Ya Allah berikan aku sikap qana’ah terhadap apa yang Engkau rizkikan kepadaku,
berkahilah pemberian itu dan gantilah segala yang luput (hilang) dariku dengan
yang lebih baik.” (HR al-Hakim, beliau menshahihkannya, dan disetujui oleh
adz-Dzahabi).
Dan karena saking qana’ahnya, beliau tidak meminta kepada
Allah subhanahu wata’ala kecuali sekedar cukup untuk kehidu pan saja,
dan meminta disedikitkan dalam dunia (harta) sebagaimana sabda beliau, “Ya
Allah jadikan rizki keluarga Muhammad hanyalah kebutuhan pokok saja.” (HR.
Al-Bukhari, Muslim dan at-Tirmidzi).
6. Menyadari bahwa Rizki Tidak Diukur dengan Kepandaian
Kita harus menyadari bahwa rizki seseorang itu tidak
tergantung kepada kecerdasan akal semata, kepada banyaknya aktivitas, keluasan
ilmu, meskipun dalam sebagiannya itu merupakan sebab rizki, namun bukan ukuran
secara pasti.
Kesadaran tentang hal ini akan menjadikan seseorang bersikap qana’ah, terutama
ketika melihat orang yang lebih bodoh, pendidikannya lebih rendah dan tidak
berpengalaman mendapatkan rizki lebih banyak daripada dirinya, sehingga tidak
memunculkan sikap dengki dan iri.
7. Melihat ke Bawah dalam Hal Dunia
Dalam urusan dunia hendaklah kita melihat kepada orang yang
lebih rendah, jangan melihat kepada yang lebih tinggi, sebagaimana sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam : “Lihatlah kepada orang yang lebih rendah dari kamu
dan janganlah melihat kepada orang yang lebih tinggi darimu. Yang demikian
lebih layak agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah.” (HR.al-Bukhari dan
Muslim).
Jika saat ini anda sedang sakit maka yakinlah bahwa selain
anda masih ada lagi lebih parah sakitnya. Jika anda merasa fakir maka tentu di
sana masih ada orang lain yang lebih fakir lagi, dan seterusnya. Jika anda
melihat ada orang lain yang mendapatkan harta dan kedudukannya lebih dari anda,
padahal dia tidak lebih pintar dan tidak lebih berilmu dibanding anda, maka mengapa
anda tidak ingat bahwa anda telah mendapatkan sesuatu yang tidak dia dapatkan?
8. Membaca Kehidupan Salaf
Yakni melihat bagaimana keadaan mereka dalam menyikapi
dunia, bagaimana kezuhudan mereka, qana’ah mereka terhadap yang mereka peroleh
meskipun hanya sedikit. Di antara mereka ada yang memperolah harta yang
melimpah, namun mereka justru memberikannya kepada yang lain dan yang lebih
membutuhkan.
9. Menyadari Beratnya Tanggung Jawab Harta
Bahwa harta akan mengakibatkan keburukan dan bencana bagi
pemilik nya jika dia tidak mendapatkan nya dengan cara yang baik serta tidak
membelanjakannya dalam hal yang baik pula.
Ketika seorang hamba ditanya tantang umur, badan, dan
ilmunya maka hanya ditanya dengan satu pertanyaan yakni untuk apa, namun
tentang harta maka dia dihisab dua kali, yakni dari mana memperoleh dan ke mana
membelanjakannya. Hal ini menunjukkan beratnya hisab orang yang diberi amanat
harta yang banyak sehingga dia harus dihisab lebih lama dibanding orang yang
lebih sedikit hartanya.
10. Melihat Realita bahwa Orang Fakir dan Orang Kaya Tidak
Jauh Berbeda
Karena seorang yang kaya tidak mungkin memanfaatkan seluruh
kekayaannya dalam satu waktu sekaligus. Kita perhatikan orang yang paling kaya
di dunia ini, dia tidak makan kecuali sebanyak yang dimakan orang fakir, bahkan
mungkin lebih banyak yang dimakan orang fakir. Tidak mungkin dia makan lima
puluh piring sekaligus, meskipun dia mampu untuk membeli dengan hartanya.
Andaikan dia memiliki seratus potong baju maka dia hanya memakai sepotong saja,
sama dengan yang dipakai orang fakir, dan harta selebihnya yang tidak dia
manfaatkan maka itu relatif (nisbi).
Sungguh indah apa yang diucapkan Abu Darda’ radhiyallahu
‘anhu, “Para pemilik harta makan dan kami juga makan, mereka minum dan kami
juga minum, mereka berpakaian kami juga berpakaian, mereka naik kendaraan dan
kami pun naik kendaraan. Mereka memiliki kelebihan harta yang mereka lihat dan
dilihat juga oleh selain mereka, lalu mereka menemui hisab atas harta itu
sedang kita terbebas darinya.”